Sabtu, 06 Oktober 2012
On 10/06/2012 07:01:00 AM by KBM FT UNM in Aqidah No comments
Definisi
Adapun definisinya secara syar’i, dijelaskan oleh Al-‘Allamah Abu Thayyib Muhammad Syamsulhaq Al-‘Azhim Abadi dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud (7/379): “Hewan yang disembelih pada hari nahr (Iedul Adha) dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhaanahu wata’ala.” (Lihat Al-Majmu’ 8/215, Syarah Muslim 13/93, Fathul Bari 11/115, Subulus Salam 4/166, Nailul Authar 5/196, ‘Aunul Ma’bud 7/379, Adhwa`ul Bayan 3/470)
Syariat dan Keutamaannya
Dalil yang menunjukkan disyariatkannya menyembelih hewan qurban adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama.
Adapun dari Al-Qur`an, di antaranya adalah firman Allah Subhaanahu wata’ala :
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)
Menurut sebagian ahli tafsir seperti Ikrimah, Mujahid, Qatadah, ‘Atha`, dan yang lainnya, النَّحْرُ dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan qurban.
Asy-Syinqithi Rahimahullaah dalam Adhwa`ul Bayan (3/470) menegaskan: “Tidak samar lagi bahwa …. menyembelih hewan qurban masuk dalam keumuman ayat وَانْحَرْ.”
Juga keumuman firman Allah Subhaanahu wata’ala:
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36)
Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahumullaah dalam kitab Fathur Rabbil Wadud (1/370) berhujjah dengan keumuman ayat di atas untuk menunjukkan syariat menyembelih hewan qurban. Beliau menjelaskan: “Kata الْبُدْنَ mencakup semua hewan sembelihan baik itu unta, sapi, atau kambing.”
Adapun dalil dari As-Sunnah, ditunjukkan oleh sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan perbuatannya. Di antara sabda beliau adalah hadits Al-Bara` bin ‘Azib Radhiallaahu 'anh :
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَـحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah shalat. Kemudian kita pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat demikian maka dia telah sesuai dengan sunnah kami, dan barangsiapa yang telah menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah nusuk sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari no. 5545 dan Muslim no. 1961/7)
Di antara perbuatan beliau adalah hadits Anas bin Malik Radhiallaahu 'anh :
ضَحَّى رَسُولُ اللهِ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَـحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَـمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا
“Rasulullah berqurban dengan dua ekor kambing putih kehitaman yang bertanduk. Beliau sembelih sendiri dengan tangannya. Beliau membaca basmalah, bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi leher kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5554 dan Muslim no. 1966, dan lafadz hadits ini milik beliau)
Adapun ijma’ ulama, dinukilkan kesepakatan ulama oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahumullaah dalam Asy-Syarhul Kabir (5/157) -Mughni-, Asy-Syaukani Rahimahullaah dalam Nailul Authar (5/196) dan Asy-Syinqithi rahimahumullaah dalam Adhwa`ul Bayan (3/470)1. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang wajib atau sunnahnya.
Adapun keutamaan berqurban, maka dapat diuraikan sebagai berkut:
Juga firman-Nya:
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)
Sisi keutamaannya adalah bahwa Allah Subhaanahu wata’ala dalam dua ayat di atas menggandengkan ibadah berqurban dengan ibadah shalat yang merupakan rukun Islam kedua.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullaah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan: “Allah Subhaanahu wata’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhaanahu wata’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhaanahu wata’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya….”
Beliau mengatakan lagi: “Oleh sebab itulah, Allah Subhaanahu wata’ala menggandengkan keduanya dalam firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (Al-An’am: 162)
Walhasil, shalat dan menyembelih qurban adalah ibadah paling utama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wata’ala….”
Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat….”
Hukum Menyembelih Qurban
Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah bahwa menyembelih qurban hukumnya sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalilnya adalah hadits Ummu Salamah Radhiallaahu 'anh, Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Apabila masuk 10 hari Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih qurban maka janganlah dia mengambil (memotong) rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim 1977/39)
Sisi pendalilannya, Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasallam menyerahkan ibadah qurban kepada kehendak yang menunaikannya. Sedangkan perkara wajib tidak akan dikaitkan dengan kehendak siapapun. Menyembelih hewan qurban berubah menjadi wajib karena nadzar, berdasarkan sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, maka hendaklah dia menaati-Nya.” (HR. Al-Bukhari no. 6696, 6700 dari Aisyah Radhiallaahu 'anha)
Faedah: Atas nama siapakah berqurban itu disunnahkan?
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin Rahimahumullaah menjawab: “Disunnahkan dari orang yang masih hidup, bukan dari orang yang telah mati. Oleh sebab itulah, Nabi Shalallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berqurban atas nama seorangpun yang telah mati. Tidak untuk istrinya, Khadijah Radhiallaahu 'anha, yang paling beliau cintai. Tidak juga untuk Hamzah Radhiallaahu 'anh, paman yang beliau cintai. Tidak pula untuk putra-putri beliau yang telah wafat semasa hidup beliau, padahal mereka adalah bagian dari beliau. Beliau hanya berqurban atas nama diri dan keluarganya. Dan barangsiapa yang memasukkan orang yang telah meninggal pada keumuman (keluarga), maka pendapatnya masih ditoleransi. Namun berqurban atas nama yang mati di sini statusnya hanya mengikut, bukan berdiri sendiri. Oleh karena itu, tidak disyariatkan berqurban atas nama orang yang mati secara tersendiri, karena tidak warid (datang) riwayat dari Nabi Shalallaahu ‘alaihi wasallam.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3/423-424 cet. Darul Atsar, lihat pula hal. 389-390)
Berqurban atas nama sang mayit hanya diperbolehkan pada keadaan berikut:
Adapun bila ada yang berqurban atas nama sang mayit, maka amalan tersebut dinilai shadaqah atas nama sang mayit dan masuk pada keumuman hadits:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ...
“Bila seseorang telah mati maka terputuslah amalannya kecuali dari 3 perkara: shadaqah jariyah ….” (HR. Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anh)
Wallahul muwaffiq.
http://www.paseban.com/sanlat/discussions/567
Adapun definisinya secara syar’i, dijelaskan oleh Al-‘Allamah Abu Thayyib Muhammad Syamsulhaq Al-‘Azhim Abadi dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud (7/379): “Hewan yang disembelih pada hari nahr (Iedul Adha) dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhaanahu wata’ala.” (Lihat Al-Majmu’ 8/215, Syarah Muslim 13/93, Fathul Bari 11/115, Subulus Salam 4/166, Nailul Authar 5/196, ‘Aunul Ma’bud 7/379, Adhwa`ul Bayan 3/470)
Syariat dan Keutamaannya
Dalil yang menunjukkan disyariatkannya menyembelih hewan qurban adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama.
Adapun dari Al-Qur`an, di antaranya adalah firman Allah Subhaanahu wata’ala :
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)
Menurut sebagian ahli tafsir seperti Ikrimah, Mujahid, Qatadah, ‘Atha`, dan yang lainnya, النَّحْرُ dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan qurban.
Asy-Syinqithi Rahimahullaah dalam Adhwa`ul Bayan (3/470) menegaskan: “Tidak samar lagi bahwa …. menyembelih hewan qurban masuk dalam keumuman ayat وَانْحَرْ.”
Juga keumuman firman Allah Subhaanahu wata’ala:
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36)
Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahumullaah dalam kitab Fathur Rabbil Wadud (1/370) berhujjah dengan keumuman ayat di atas untuk menunjukkan syariat menyembelih hewan qurban. Beliau menjelaskan: “Kata الْبُدْنَ mencakup semua hewan sembelihan baik itu unta, sapi, atau kambing.”
Adapun dalil dari As-Sunnah, ditunjukkan oleh sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan perbuatannya. Di antara sabda beliau adalah hadits Al-Bara` bin ‘Azib Radhiallaahu 'anh :
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَـحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah shalat. Kemudian kita pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat demikian maka dia telah sesuai dengan sunnah kami, dan barangsiapa yang telah menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah nusuk sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari no. 5545 dan Muslim no. 1961/7)
Di antara perbuatan beliau adalah hadits Anas bin Malik Radhiallaahu 'anh :
ضَحَّى رَسُولُ اللهِ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَـحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَـمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا
“Rasulullah berqurban dengan dua ekor kambing putih kehitaman yang bertanduk. Beliau sembelih sendiri dengan tangannya. Beliau membaca basmalah, bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi leher kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5554 dan Muslim no. 1966, dan lafadz hadits ini milik beliau)
Adapun ijma’ ulama, dinukilkan kesepakatan ulama oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahumullaah dalam Asy-Syarhul Kabir (5/157) -Mughni-, Asy-Syaukani Rahimahullaah dalam Nailul Authar (5/196) dan Asy-Syinqithi rahimahumullaah dalam Adhwa`ul Bayan (3/470)1. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang wajib atau sunnahnya.
Adapun keutamaan berqurban, maka dapat diuraikan sebagai berkut:
- Berqurban merupakan syi’ar-syi’ar Allah Subhaanahu wata’ala, sebagaimana yang telah lewat penyebutannya dalam firman Allah Subhaanahu wata’ala surat Al-Hajj ayat 36.
- Berqurban merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasallam, karena beliau Shalallaahu 'alaihi wasallam telah menganjurkan dan melaksanakannya. Maka setiap muslim yang berqurban seyogianya mencontoh beliau dalam pelaksanaan ibadah yang mulia ini.
- Berqurban termasuk ibadah yang paling utama. Allah Subhaanahu wata’ala berfirman:
Juga firman-Nya:
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)
Sisi keutamaannya adalah bahwa Allah Subhaanahu wata’ala dalam dua ayat di atas menggandengkan ibadah berqurban dengan ibadah shalat yang merupakan rukun Islam kedua.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullaah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan: “Allah Subhaanahu wata’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhaanahu wata’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhaanahu wata’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya….”
Beliau mengatakan lagi: “Oleh sebab itulah, Allah Subhaanahu wata’ala menggandengkan keduanya dalam firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (Al-An’am: 162)
Walhasil, shalat dan menyembelih qurban adalah ibadah paling utama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wata’ala….”
Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat….”
Hukum Menyembelih Qurban
Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah bahwa menyembelih qurban hukumnya sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalilnya adalah hadits Ummu Salamah Radhiallaahu 'anh, Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Apabila masuk 10 hari Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih qurban maka janganlah dia mengambil (memotong) rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim 1977/39)
Sisi pendalilannya, Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasallam menyerahkan ibadah qurban kepada kehendak yang menunaikannya. Sedangkan perkara wajib tidak akan dikaitkan dengan kehendak siapapun. Menyembelih hewan qurban berubah menjadi wajib karena nadzar, berdasarkan sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, maka hendaklah dia menaati-Nya.” (HR. Al-Bukhari no. 6696, 6700 dari Aisyah Radhiallaahu 'anha)
Faedah: Atas nama siapakah berqurban itu disunnahkan?
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin Rahimahumullaah menjawab: “Disunnahkan dari orang yang masih hidup, bukan dari orang yang telah mati. Oleh sebab itulah, Nabi Shalallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berqurban atas nama seorangpun yang telah mati. Tidak untuk istrinya, Khadijah Radhiallaahu 'anha, yang paling beliau cintai. Tidak juga untuk Hamzah Radhiallaahu 'anh, paman yang beliau cintai. Tidak pula untuk putra-putri beliau yang telah wafat semasa hidup beliau, padahal mereka adalah bagian dari beliau. Beliau hanya berqurban atas nama diri dan keluarganya. Dan barangsiapa yang memasukkan orang yang telah meninggal pada keumuman (keluarga), maka pendapatnya masih ditoleransi. Namun berqurban atas nama yang mati di sini statusnya hanya mengikut, bukan berdiri sendiri. Oleh karena itu, tidak disyariatkan berqurban atas nama orang yang mati secara tersendiri, karena tidak warid (datang) riwayat dari Nabi Shalallaahu ‘alaihi wasallam.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3/423-424 cet. Darul Atsar, lihat pula hal. 389-390)
Berqurban atas nama sang mayit hanya diperbolehkan pada keadaan berikut:
- Bila sang mayit pernah bernadzar sebelum wafatnya, maka nadzar tersebut dipenuhi karena termasuk nadzar ketaatan.
- Bila sang mayit berwasiat sebelum wafatnya, wasiat tersebut dapat terlaksana dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 harta sang mayit. (Lihat Syarh Bulughil Maram, 6/87-88 karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullaah)
- Syarik adalah Ibnu Abdillah An-Nakha’i Al-Qadhi, dia dhaif karena hafalannya jelek setelah menjabat sebagai qadhi (hakim).
- Abul Hasna` majhul (tidak dikenal).
- Hanasy adalah Ibnul Mu’tamir Ash-Shan’ani, pada haditsnya ada kelemahan walau dirinya dinilai shaduq lahu auham (jujur namun punya beberapa kekeliruan) oleh Al-Hafizh dalam Taqrib-nya.
Adapun bila ada yang berqurban atas nama sang mayit, maka amalan tersebut dinilai shadaqah atas nama sang mayit dan masuk pada keumuman hadits:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ...
“Bila seseorang telah mati maka terputuslah amalannya kecuali dari 3 perkara: shadaqah jariyah ….” (HR. Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anh)
Wallahul muwaffiq.
http://www.paseban.com/sanlat/discussions/567
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Kalender
Cari Penginapan?
Popular Posts
-
Belakangan ini demonstrasi sudah bisa dikatakan sangat lumrah di negara kita. Banyak orang mengatakan bahwa “demonstrasi” a...
-
Sungguh Allah telah membukakan hati-hati hambaNya dengan hidayah keimanan. Dengan keimanan itulah Allah melunakkan hati-hati hambaNya unt...
-
Assalamu’alaikum …Segala puji kita panjatkan hanya kepada Allah Subhana wa ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap kita curahkan kepada bag...
0 komentar:
Posting Komentar
Afwan, silahkan tinggalkan komentar antum terhadap blog ini.