Jumat, 27 Juli 2012
On 7/27/2012 02:51:00 AM by KBM FT UNM No comments
Daerah Syam, wilayah ini tampaknya mempunyai tempat yang khusus di hati Rasulullah saw. Sewaktu kecil, ia pernah dibawa pamannya –Abu Thalib-untuk berdagang ke daerah tersebut. Di waktu muda, ia pernah pergi ke sana untuk menjadi manajer misi dagang milik Khadijah. Setelah menjadi Rasul, beliau juga pernah memimpin ekspedisi militer terbesar yang mengarah ke Syam, yakni ekspedisi Tabuk. Kini terpikir kembali oleh Rasulullah saw. untuk kembali mengirim ekspedisi ke Palestina dan Syam.
Para sahabat pilihan telah ditunjuk Rasulullah saw. Ia juga telah mengangkat Usama putra Zaid bin Haritsah –anak angkat Rasulullah saw. yang gugur di pertempuran Mu’ta—untuk menjadi komandan. Sebuah keputusan kontroversial ketika itu, karena Usamah belum berusia 20 tahun.
Seluruh perlengkapan sudah disiapkan. Kuda-kuda telah siap dipacu. Tiba-tiba Rasulullah saw. jatuh sakit. Diriwayatkan bahwa dalam sakitnya, Rasulullah saw. sulit untuk tidur. Tengah malam, ia lalu keluar rumah dengn ditemani oleh pembantunya, Abu Muwayba. Rasulullah saw. -menurut riwayat ini-beliau pergi ke Baqi’ Gharqad, pemakaman muslim di Madinah. Di sana Rasulullah saw. berdoa untuk orang-orang yang telah wafat, dan seperti berbicara pada para ahli kubur.
Demam Rasulullah Shallalohu 'alaihi wasallam. semakin hari semakin bertambah. Namun ia mencoba tetap melakukan aktivitas biasa. Beberapa riwayat menyebut bahwa Rasulullah saw. masih bercanda dengan istrinya, Aisyah, di saat sakit. Namun suatu hari, ketika Rasulullah saw. di rumah Maimunah, serangan demam menguat. Rasulullah saw. tak dapat berbuat apapun selain berbaring. Ia kemudian dipindahkan ke tempat Aisyah.
Diriwayatkan pula bahwa begitu hebat serangan demam itu sehingga Rasulullah saw. merasa seperti terbakar. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw—meskipun dipilih Allah menjadi Rasul-Nya—beliau tetaplah seorang manusia biasa. Ia punya perasaan sedih dan gembira sebagaimana manusia biasa. Ia juga merasakan sakit secara normal. Untuk mengurangi rasa panas itu, Rasulullah saw. minta disiram dengan “tujuh kirbat” air dari berbagai sumur. “Cukup, cukup…!” kata beliau.
Rasulullah saw. merasa sedikit ringan. Ia mengenakan pakaiannya kembali, mengikat kepala, lalu pergi ke masjid. Di atas mimbar, Rasulullah saw. mengucap banyak puji syukur kepada Allah, mendoakan para sahabat yang gugur di Uhud, juga banyak lagi memanjatkan doa yang lain. Saat itu pula, Rasulullah saw. menegaskan agar semua mendukung Usama untuk melaksanakan misi yang telah direncanakan. “Dia sudah pantas memimpin seperti ayahnya dulu juga pantas memimpin.”
Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa “Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia memilih di sisi Tuhan.” Rasulullah saw. lalu terdiam. Ia tidak menyebut siapa hamba yang diminta Tuhan untuk memilih itu. Para sahabat pun terdiam. Sejenak suasana masjid menjadi senyap. Baru kemudian Abu Bakar memecah keheningan dengan tekadnya untuk menebus jiwa Rasulullah saw. dengan jiwa kami dan anak-anak kami. Abu Bakar tahu, yang dimaksud “hamba Allah” oleh Rasulullah saw. adalah beliau sendiri.
“Sabarlah, Abu Bakar,” hibur Rasulullah saw. Dengan bersusah payah ia lalu meninggalkan masjid. Namun, sebelum pulang, ia sempat berpesan agar kaum Muhajirin terus menjaga Anshar.
Usamah dan pasukannya masih menunggu di Madinah. Keadaan Rasulullah saw. semakin parah. Untuk menjadi imam masjid, Rasulullah saw. minta agar orang-orang menghubungi Abu Bakar. Aisyah -putri Abu Bakar-protes karena suara ayahnya terlalu pelan untuk menjadi imam, dan sering menangis saat membaca ayat-ayat Quran. Namun Rasulullah saw. tetap minta agar Abu Bakar yang menjadi imam.
Ketika terdengar suara Umar yang keras mengimami salat di masjid, Rasulullah saw. berkata: “Mana Abu Bakar?” Belakangan, banyak orang percaya, bahwa kejadian tersebut adalah isyarat Rasulullah saw. agar kaum Muslimin memilih Abu Bakar sebagai penggantinya kelak.
Begitu parah keadaan Rasulullah saw. Ia sempat pingsan beberapa lama. Rasulullah saw. juga minta istrinya agar menyedekahkan uang miliknya yang cuma tujuh dinar. Ia tak ingin meninggal dengan masih memiliki kekayaan -betapapun jumlahnya– di tangan.
Demam Rasulullah saw. tampak mereda. Dengan kepala diikat, dan ditopang oleh Ali bin Abu Thalib dan Fadzil bin Abbas, Rasulullah saw. ke masjid. Abu Bakar yang tengah menjadi imam menyisih untuk memberi tempat pada Rasulullah saw. Namun Rasulullah saw. mendorong Abu Bakar untuk terus menjadi imam. Ia salat sambil duduk di sebelah kanan Abu Bakar.
Orang-orang gembira. Rasulullah saw. telah menunjukkan tanda-tanda sembuh. Usama segera pamit pada Rasulullah saw. untuk melaksanakan ekspedisinya. Namun, kemudian, hari itu tiba. Di musim panas, yang diperkirakan tanggal 8 Juni 632, Rasulullah saw. wafat di pangkuan Aisyah. Diriwayatkan, hari itu Rasulullah saw. meminta diambilkan air dingin. Ia mengusap wajah dengan air itu, lalu bersiwak. Menurut Aisyah, Rasulullah saw. sempat berdoa untuk dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut. Kemudian tubuhnya terasa memberat.
Kini pemimpin, sahabat, bahkan kekasih seluruh umat Islam itu menghadap-Nya. Umat terguncang. Umar sempat mengancam akan memotong leher siapapun yang mengatakan Rasulullah saw. meninggal. Namun Abu Bakar mengingatkan semua sahabat dengan membacakan ayat Quran, Surat Ali Imran ayat 144: “Muhammad hanyalah seorang Rasulul sebagaimana para Rasul sebelumnya. Bila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu akan berbalik ke belakang?……”
Dua puluh tiga tahun Rasulullah saw. berdakwah menyampaikan risalah. Di Madinah, selama 10 tahun -setara dengan dua kali masa jabatan presiden sekarang-Rasulullah saw. menjadi pemimpin yang tangguh dalam berbagai lini kehidupan. Rasulullah saw. pun wafat dengan meninggalkan “keteladanan yang sempurna” untuk menjalani kehidupan. Selebihnya, beliau menyerahkan pada setiap muslim—yang seluruhnya telah dibekali Allah dengan nurani dan akal—untuk mengadaptasi keteladanan itu sesuai dengan masa dan situasi yang berbeda-beda.
Para sahabat pilihan telah ditunjuk Rasulullah saw. Ia juga telah mengangkat Usama putra Zaid bin Haritsah –anak angkat Rasulullah saw. yang gugur di pertempuran Mu’ta—untuk menjadi komandan. Sebuah keputusan kontroversial ketika itu, karena Usamah belum berusia 20 tahun.
Seluruh perlengkapan sudah disiapkan. Kuda-kuda telah siap dipacu. Tiba-tiba Rasulullah saw. jatuh sakit. Diriwayatkan bahwa dalam sakitnya, Rasulullah saw. sulit untuk tidur. Tengah malam, ia lalu keluar rumah dengn ditemani oleh pembantunya, Abu Muwayba. Rasulullah saw. -menurut riwayat ini-beliau pergi ke Baqi’ Gharqad, pemakaman muslim di Madinah. Di sana Rasulullah saw. berdoa untuk orang-orang yang telah wafat, dan seperti berbicara pada para ahli kubur.
Demam Rasulullah Shallalohu 'alaihi wasallam. semakin hari semakin bertambah. Namun ia mencoba tetap melakukan aktivitas biasa. Beberapa riwayat menyebut bahwa Rasulullah saw. masih bercanda dengan istrinya, Aisyah, di saat sakit. Namun suatu hari, ketika Rasulullah saw. di rumah Maimunah, serangan demam menguat. Rasulullah saw. tak dapat berbuat apapun selain berbaring. Ia kemudian dipindahkan ke tempat Aisyah.
Diriwayatkan pula bahwa begitu hebat serangan demam itu sehingga Rasulullah saw. merasa seperti terbakar. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw—meskipun dipilih Allah menjadi Rasul-Nya—beliau tetaplah seorang manusia biasa. Ia punya perasaan sedih dan gembira sebagaimana manusia biasa. Ia juga merasakan sakit secara normal. Untuk mengurangi rasa panas itu, Rasulullah saw. minta disiram dengan “tujuh kirbat” air dari berbagai sumur. “Cukup, cukup…!” kata beliau.
Rasulullah saw. merasa sedikit ringan. Ia mengenakan pakaiannya kembali, mengikat kepala, lalu pergi ke masjid. Di atas mimbar, Rasulullah saw. mengucap banyak puji syukur kepada Allah, mendoakan para sahabat yang gugur di Uhud, juga banyak lagi memanjatkan doa yang lain. Saat itu pula, Rasulullah saw. menegaskan agar semua mendukung Usama untuk melaksanakan misi yang telah direncanakan. “Dia sudah pantas memimpin seperti ayahnya dulu juga pantas memimpin.”
Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa “Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia memilih di sisi Tuhan.” Rasulullah saw. lalu terdiam. Ia tidak menyebut siapa hamba yang diminta Tuhan untuk memilih itu. Para sahabat pun terdiam. Sejenak suasana masjid menjadi senyap. Baru kemudian Abu Bakar memecah keheningan dengan tekadnya untuk menebus jiwa Rasulullah saw. dengan jiwa kami dan anak-anak kami. Abu Bakar tahu, yang dimaksud “hamba Allah” oleh Rasulullah saw. adalah beliau sendiri.
“Sabarlah, Abu Bakar,” hibur Rasulullah saw. Dengan bersusah payah ia lalu meninggalkan masjid. Namun, sebelum pulang, ia sempat berpesan agar kaum Muhajirin terus menjaga Anshar.
Usamah dan pasukannya masih menunggu di Madinah. Keadaan Rasulullah saw. semakin parah. Untuk menjadi imam masjid, Rasulullah saw. minta agar orang-orang menghubungi Abu Bakar. Aisyah -putri Abu Bakar-protes karena suara ayahnya terlalu pelan untuk menjadi imam, dan sering menangis saat membaca ayat-ayat Quran. Namun Rasulullah saw. tetap minta agar Abu Bakar yang menjadi imam.
Ketika terdengar suara Umar yang keras mengimami salat di masjid, Rasulullah saw. berkata: “Mana Abu Bakar?” Belakangan, banyak orang percaya, bahwa kejadian tersebut adalah isyarat Rasulullah saw. agar kaum Muslimin memilih Abu Bakar sebagai penggantinya kelak.
Begitu parah keadaan Rasulullah saw. Ia sempat pingsan beberapa lama. Rasulullah saw. juga minta istrinya agar menyedekahkan uang miliknya yang cuma tujuh dinar. Ia tak ingin meninggal dengan masih memiliki kekayaan -betapapun jumlahnya– di tangan.
Demam Rasulullah saw. tampak mereda. Dengan kepala diikat, dan ditopang oleh Ali bin Abu Thalib dan Fadzil bin Abbas, Rasulullah saw. ke masjid. Abu Bakar yang tengah menjadi imam menyisih untuk memberi tempat pada Rasulullah saw. Namun Rasulullah saw. mendorong Abu Bakar untuk terus menjadi imam. Ia salat sambil duduk di sebelah kanan Abu Bakar.
Orang-orang gembira. Rasulullah saw. telah menunjukkan tanda-tanda sembuh. Usama segera pamit pada Rasulullah saw. untuk melaksanakan ekspedisinya. Namun, kemudian, hari itu tiba. Di musim panas, yang diperkirakan tanggal 8 Juni 632, Rasulullah saw. wafat di pangkuan Aisyah. Diriwayatkan, hari itu Rasulullah saw. meminta diambilkan air dingin. Ia mengusap wajah dengan air itu, lalu bersiwak. Menurut Aisyah, Rasulullah saw. sempat berdoa untuk dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut. Kemudian tubuhnya terasa memberat.
Kini pemimpin, sahabat, bahkan kekasih seluruh umat Islam itu menghadap-Nya. Umat terguncang. Umar sempat mengancam akan memotong leher siapapun yang mengatakan Rasulullah saw. meninggal. Namun Abu Bakar mengingatkan semua sahabat dengan membacakan ayat Quran, Surat Ali Imran ayat 144: “Muhammad hanyalah seorang Rasulul sebagaimana para Rasul sebelumnya. Bila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu akan berbalik ke belakang?……”
Dua puluh tiga tahun Rasulullah saw. berdakwah menyampaikan risalah. Di Madinah, selama 10 tahun -setara dengan dua kali masa jabatan presiden sekarang-Rasulullah saw. menjadi pemimpin yang tangguh dalam berbagai lini kehidupan. Rasulullah saw. pun wafat dengan meninggalkan “keteladanan yang sempurna” untuk menjalani kehidupan. Selebihnya, beliau menyerahkan pada setiap muslim—yang seluruhnya telah dibekali Allah dengan nurani dan akal—untuk mengadaptasi keteladanan itu sesuai dengan masa dan situasi yang berbeda-beda.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Kalender
Cari Penginapan?
Popular Posts
-
Belakangan ini demonstrasi sudah bisa dikatakan sangat lumrah di negara kita. Banyak orang mengatakan bahwa “demonstrasi” a...
-
Sungguh Allah telah membukakan hati-hati hambaNya dengan hidayah keimanan. Dengan keimanan itulah Allah melunakkan hati-hati hambaNya unt...
-
Assalamu’alaikum …Segala puji kita panjatkan hanya kepada Allah Subhana wa ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap kita curahkan kepada bag...
0 komentar:
Posting Komentar
Afwan, silahkan tinggalkan komentar antum terhadap blog ini.